MARI KITA HINDARI "SANG PEMBUNUH" INI

Sekitar jam 11 malam, ada telepon dari dokter jaga IGD sebuah RS.
Dokter Jaga (DJ): Dok lapor, ada pasien, seorang laki-laki berusia 39 tahun. Datang dengan keluhan nyeri dada saat bermain Futsal, pasien sempat pingsan kemudian langsung dibawa oleh teman-teman ke RS. Saat di IGD pasien mengeluh sesak nafas, saat di monitor pasien kembali tidak sadar,  irama VT, nadi tidak ada. Kami lakukan resusitasi sekitar 5 menit dan dilakukan defibrilasi (kejut jantung) hingga akhirnya kembali ke sirkulasi spontan.
Saat ini pasien sudah sadar, mengeluh nyeri dada dan sesak. Tekanan darah 150/90, laju jantung 110x/menit, laju nafas 40x/menit dengan dengan NRM saturasi 95%, auskultasi paru terdengar ronkhi dok. EKG tampak ada elevasi di I, II, III, V2-6. Kami diagnosis STEMI dengan edema paru. Pasien sudah kami berikan Clopidogrel 300 mg, Aspilet 160 mg, Lipitor 40 mg, Furosemide 60 mg IV.
Dokter SpJP : Apa betul elevasi di inferior dan anterior?
DJ: Betul dok, jelas ada proses infark.
SpJP: Masih muda ya, risikonya apa?
DJ: Hanya merokok dok.
SpJP: Jadi onset berapa jam?
DJ: 2 jam dok.
SpJP: Buat Diagnosis Kerja STEMI inferoanterior dengan komplikasi edema paru. Berikan alteplase (obat peluruh gumpalan darah) sesuai panduan STEMI.
DJ: Maaf dok, obatnya tidak ada. (Tidak ada karena tidak disediakan, harganya mahal, setidaknya 7,6 juta (harga e katalog) sekali pemberian, sementara tarif InaCBGs tidak mencukupi untuk diberikan pasien BPJS. Kondisi ini dipastikan terjadi di seluruh Indonesia, kecuali anda siap membayar lebih)
SpJP: Ya-sudah Aspiletnya kasih lagi 160 mg, Clopidogrel 300 mg, Lipitornya tambah 40 mg, Lovenox 30 mg IV bolus, terus 2×60 mg SC. Turunkan afterloadnya kasih captopril 3×12.5 mg. Untuk mengurangi kemungkinan timbul VT lagi kasih Amiodarone 150 mg IV bolus, lanjut 1 mg/kgBB/jam untuk 6 jam pertama, kurangi dosis 1/2-nya untuk 18 jam berikutnya. Kalau tensi bagus, pasien sesak, pasang ISDN di drip saja 1 mg/jam. Kamu monitor dulu disitu, monitor ketat tanda vital, pastikan diuresis-nya adekuat. Cepat rujuk ke RS yang bisa melakukan Primary PCI.
—-
1 jam kemudian
DJ : Dok kami sudah menelepon seluruh RS (di Bandung dengan fasilitas Cath Lab) Hasan Sadikin, Sentosa, Advent, Al Islam, Immanuel, tapi ruangan ICU penuh, tindakan Primary PCI tidak bisa dikerjakan.
SpJP: Bagaimana keadaan pasien?
DJ: Sekarang klinis membaik dok, sesak berkurang, urine keluar 300 cc dalam 1 jam, laju nafas turun jadi sekitar 30x/menit, keluhan nyeri masih ada tapi berkurang dibandingkan tadi.
SpJP: Ok, rawat di ICU situ saja kalau begitu.
DJ: Baik dok.
—-
Subuh Buta
DJ: Dok melaporkan pasien STEMI yang baru masuk semalam, meninggal di ICU.
SpJP: Meninggal kenapa?
DJ: Sekitar jam 3 pagi, terjadi Total AV-Blok, laju jantung turun ke 30-40x/menit,  tekanan darah turun ke 70/50 mmHg. Kami kami berikan SA 2 ampul dan siapkan drip Dopamine, tapi tidak lama terjadi kembali VT tanpa nadi, sudah dicoba dilakukan resusitasi selama sejam sesuai protokol ACLS, namun tidak tertolong.
SpJP: Bagaimana keluarganya?
DJ: Sudah dijelaskan, mereka menerima dok.
SpJP: Baik, terimakasih ya.
—-
Kasus serangan jantung dengan oklusi total arteri koroner atau istilah medisnya STEMI, merupakan kasus kegawat daruratan yang cukup sering terjadi dan saat ini telah menjadi pembunuh nomer satu di Indonesia. Seseorang yang sebelumnya sehat, produktif, tidak memiliki keluhan apa-apa, bisa mendadak sakit dan meninggal dengan cepat.
Kasus ini bukan kasus fiktif, hanya saja settingnya disesuaikan dengan realitas di Indonesia. Kejadian yang sama menimpa pasien berusia 39 tahun yang hanya memiliki faktor risiko merokok di KOREA SELATAN. Tapi disana, karena hampir setiap RS di kota besar memiliki fasilitas Cath Lab yang sanggup melakukan Primary PCI maka tindakan live-saving ini dapat dikerjakan dalam waktu yang relatif cepat. Dibawah bisa dilihat adanya sumbatan pada kedua arteri koroner yang kemudian sukses dibuka melalui tindakan Primary PCI. Pasiennya tertolong tanpa komplikasi yang berarti. Kasus aslinya bisa dibaca di http://goo.gl/MeFzPD
Faktor risiko penyakit ini antara lain:
– Merokok
– Hipertensi (Tekanan Darah Tinggi)
– Diabetes (Kencing Manis)
– Dislipidemia (Kolesterol Tinggi)
– Kegemukan & kurang olah raga
– Usia (semakin tua semakin berisiko)
– Riwayat keluarga sedarah dengan penyakit jantung koroner / meninggal mendadak.
Diantara semua faktor risiko diatas, 5 faktor risiko yang pertama merupakan sesuatu yang bisa dicegah dan/atau dikendalikan. Diantara ke 5 faktor risiko tersebut, rokoklah yang paling banyak berperan menimbulkan kematian diusia muda.
Central for Disease Control mengatakan \”Rokok merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian terbesar yang dapat dicegah di Amerika.\” Hal yang sama juga saya yakin terjadi di Indonesia. Kematian yang ditimbulkan oleh rokok, jauh lebih besar dibandingkan GABUNGAN kematian akibat Narkoba, HIV/AIDS, Kecelakaan Bermotor, dan banyak penyakit lainnya.
Tapi kenapa hal ini terus dibiarkan?
Rokok di Indonesia saat ini termasuk yang termurah di dunia. Jumlah perokok di Indonesia merupakan terbesar ketiga di dunia. Pria dewasa di Indonesia 67% adalah perokok, 36% penduduk Indonesia adalah perokok. Hari demi hari generasi muda Indonesia semakin banyak yang meninggal karena rokok.
Pemerintah harus hadir melindungi rakyatnya dari bahaya rokok. Naikkan pajak dan cukai rokok 3x lipat, maka jumlah perokok akan turun hingga 1/2 nya. Penjualan rokok pasti turun tapi penghasilan pemerintah dari rokok dijamin akan naik hingga 2x lipat. Ini sudah terbukti di banyak negara.

Pemasukan hingga 2x lipat atau 160 Trilyun setahun saya rasa cukup untuk menciptakan lapangan kerja baru untuk para buruh, petani, atau pedagang rokok. Bahkan lebih dari itu, cukup untuk memperbaiki Layanan Kesehatan di Indonesia sehingga korban rokok tidak lagi \”terpaksa\” dibiarkan mati seperti sekarang.
Mohon share-nya sehingga pemerintah kita tergerak untuk memperbaiki keadaan. Terimakasih.
Penulis: dr. Erta Priadi Wirawijaya, SpJP

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top