Salah satu manifestasi dari hati yang fitri adalah sirnanya rasa untuk mencaci saudara sendiri. Cacian, celaan atau kemudian diperlembut dengan kalimat-kalimat tahdzir merupakan sebuah kondisi dari hati yang tak tentu arah atau tidak punya tujuan disebabkan hilangnya cahaya ilahiyah yang menuntunnya.
Ya akhi..
Dalam hati yang sehat itu ada jiwa yang kuat, yang kemudian menguatkan jasad; otot dan tulang belulang untuk merealisasikan keta’atan yang diwajibkan syari’at kepadanya dan kemudian mencari tambahan dalam ritual-ritual sunnah. Bukan mencari-cari kesalahan seorang mukmin, karena itu adalah salah satu bentuk hasad dan dosa besar karena ia merusak silaturahim.
Hati yang dipenuhi cahaya itu akan menerangi banyak jiwa, sementara hati yang gelap akan mengikuti cahaya-cahaya itu. Mengekor dan mencela disebabkan kekalahan dan keterpurukan jiwa yang dialaminya.
Ketahuilah bahwa, sungguh tak ada waktu untuk mencela jika kita sibuk dalam berkarya dan komentator itu biasanya tidak punya karya. Mari bersaing dengan sehat dengan menunjukan karya terbaik untuk ummat dan negeri ini.
Adapun jika engkau mencintai saudaramu. Maka, celaan terbaik bisa dilakukan dengan menunjukan kebenaran seluas-luasnya. Hal ini kemudian akan melahirkan pemahaman dan menghentikanperlawanan. Karena dengan mencela, secara tidak sadar hal itu menunjukan posisi kepribadian seseorang.
Pencela itu pasti dibawah orang yang dicelanya, sebagaimana mental orang yang bicara dibelakang yang pasti ‘membicarakan’ orang di depannya. Artinya yang dibicarakan selalu didepan orang yang membicarakan. Jadilah muslim yang visioner, jangan tunjukan keterbelakangan mentalnya dengan ‘mencela’ setiap upaya saudaranya.
(From: dr. Ryan Thamrin [DROZ Indonesia])